News

Dilema saudi, ancaman corona atau kehilangan untung dari haji
DILEMA SAUDI, ANCAMAN CORONA ATAU KEHILANGAN UNTUNG DARI HAJI

Jakarta, CNN Indonesia -- Arab Saudi diperkirakan akan membatalkan ibadah haji tahun ini menyusul pandemi virus corona (Covid-19) yang masih menghantui dunia.

Jika terkonfirmasi, pembataalan ibadah haji ini merupakan yang pertama sejak 1932 atau dalam sejarah modern.

Meski begitu, pemerintahan Raja Salman hingga kini belum juga mengumumkan keputusan resminya terkait penyelenggaraan ibadah haji. Hal itu membuat sejumlah negara Muslim, terutama pemasok jemaah haji terbesar seperti Indonesia merasa "digantung".

Indonesia dan negara-negara dengan Mayoritas Muslim lainnya pun terus mendesak Riyadh untuk segera memutuskan apakah akan melanjutkan atau menunda ritual agama terbesar setiap tahunnya ini yang rencananya berlangsung mulai akhir Juli mendatang.

 Akibat belum ada kejelasan dari pihak Saudi, Indonesia menyatakan tak akan mengirimkan jemaah hajinya ke Saudi tahun ini.

Seorang menteri Presiden Joko Widodo kepada AFP menuturkan ini merupakan "keputusan yang sangat pahit dan sulit" lantaran pengiriman jamaah Haji juga turut memberikan keuntungan finansial bagi negara.

Malaysia, Senegal, dan Singapura juga sama dengan Indonesia menangguhkan perjalanan haji tahun ini. Sementara itu, negara-negara dengan populasi Muslim lainnya seperti Mesir, Maroko, Libanon, Turki, hingga Bulgaria, masih menunggu keputusan dari Riyadh.

Sejumlah pengamat menganggap Saudi tengah dihadapkan pada situasi dilematis. Di satu sisi, Saudi harus waspada lantaran penyelenggaraan ibadah haji bisa menjadi bumerang bagi kerajaan lantaran perkumpulan jutaan jemaah dari seluruh dunia bisa memperparah penyebaran Covid-19.

Di sisi lain, membatalkan ibadah haji tahun ini berarti menolak belasan miliar dolar Amerika Serikat masuk ke kantong Saudi.

Dilansir Times of India, ibadah Haji dinilai menjadi pemasukan utama Arab Saudi setelah penjualan minyak dan gas. Setiap tahun, lebih dari dua juta jemaah haji yang datang ke Mekah menyumbangkan sekitar US$12 miliar (Rp170 triliun) kepada Saudi, atau 7 persen dari total GDP negara kerajaan tersebut.

Kepada AFP, seorang pejabat Saudi hanya mengatakan bahwa "keputusan akan segera diumumkan" tanpa menjelaskan kapan.

"Ini adalah pergulatan antara menerima nominal dari penyelenggaraan haji atau membuang sepenuhnya," kata seorang pejabat negara di Asia Selatan yang berhubungan dengan pemerintah Saudi.

Sementara itu, seorang pengamat dari Royal United Services Institute London, Umar Karim, menganggap keterlambatan Saudi dalam mengumumkan keputusannya memperlihatkan bahwa pemerintahan Raja Salman memahami konsekuensi politik jika membatalkan penyelenggaraan ibadah haji atau mengurangi kuota jemaah.

"Arab Saudi terperangkap antara iblis dan laut biru yang dalam," kata Karim.

Sementara itu, seorang pejabat negara Asia Selatan menuturkan Saudi tengah membuang waktu sehingga jika pada akhirnya mereka tetap membuka ibadah haji, negara-negara tidak bisa mengirimkan jemaah haji mereka secara maksimal lantaran persiapan yang mendadak.

"Pada menit terakhir jika Saudi mengatakan 'kami siap menyelenggarakan ibadah haji', secara logistik akan banyak negara tidak siap untuk berpartisipasi," katanya.

Saudi berhasil tetap menyelenggarakan ibadah haji ketika wabah Ebola dan MERS menyebar beberapa tahun lalu. Namun, Saudi dinilai akan kewalahan jika harus berhadapan dengan pandemi corona kali ini.

Sebab, kondisi fasilitas kesehatan di Saudi sendiri saat ini dinilai tidak akan memadai jika harus disiagakan untuk menampung pasien-pasien corona dari negara lain selama ibadah haji berlangsung.

Sejumlah sumber menuturkan saat ini semakin banyak pasien corona yang memenuhi sebagian besar rumah sakit di Saudi. Semakin banyak pula petugas kesehatan Saudi yang terinfeksi virus corona.

Berdasarkan data statistik Worldometer per Rabu (17/6), Saudi tercatat memiliki 136.315 kasus corona dengan angka kematian mencapai 1.052 pasien.